Pasang Iklan Gratis

SDM Indonesia dan Tantangan Sukses Program MBG

 Bagaimana kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia saat ini dan sejauh mana keterkaitannya dengan keberhasilan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijalankan Pemerintahan Prabowo?

Pertanyaan ini penting karena MBG bukan sekadar program memberi makanan bagi anak sekolah, melainkan sebuah ikhtiar nasional untuk meningkatkan kualitas gizi sekaligus mendongkrak mutu SDM agar Indonesia benar-benar siap mencapai visi Indonesia Emas 2045.

Pada tataran ideal, MBG diharapkan menjadi titik balik agar generasi muda Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan berdaya saing global.

Namun, realisasi di lapangan akan sangat bergantung pada kualitas SDM yang mengelolanya, khususnya mereka yang bertugas di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagai ujung tombak penyelenggaraan program.

Kualitas SDM Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan serius. Dalam laporan Global Talent Competitiveness Index yang tercatat pada laman vokasi.kemendikdasmen.go.id, Indonesia hanya menempati peringkat ke-75 dari 113 negara.

Posisi ini masih jauh di bawah negara-negara ASEAN lain seperti Malaysia, Thailand, bahkan Singapura yang justru masuk jajaran negara top dalam indeks tersebut.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 juga menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia baru mencapai 8,9 tahun atau setara kelas 3 SMP. Artinya, secara umum tingkat pendidikan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah.

Tidak berhenti di situ, BPS juga merilis Indeks Perilaku Anti-Korupsi (IPAK) tahun 2024 dengan nilai 3,85 yang menandakan masih rendahnya perilaku anti korupsi di masyarakat.

Nilai ini menunjukkan tingkat permisivitas yang cukup tinggi terhadap tindakan korupsi. Dari data-data tersebut dapat dipahami bahwa kualitas SDM Indonesia masih menyisakan banyak pekerjaan rumah untuk ditingkatkan, baik dalam hal daya saing talenta, tingkat pendidikan, maupun budaya integritas.

Maka dalam konteks program MBG, persoalan kualitas SDM ini tidak bisa diabaikan. Kompetensi kepemimpinan, perekrutan, dan seluruh proses pekerjaan dalam SPPG akan sangat menentukan berhasil atau tidaknya program ini.

Banyaknya kasus keracunan makanan dalam implementasi MBG bisa dijadikan cermin untuk mengevaluasi kembali pembangunan SDM.

Apakah dalam rantai kerja MBG, perilaku seperti kejujuran, kerajinan, kecermatan, ketepatan waktu, manajemen, konsistensi, pengawasan, serta kepatuhan terhadap standar keselamatan dan kesehatan kerja sudah dijalankan secara optimal? Kepemimpinan, kinerja, dan kerja sama di setiap lini penyelenggaraan MBG harus menjadi ukuran yang terus-menerus dievaluasi.

Dalam rantai pasok penyelenggaraan MBG, kualitas SDM menjadi penentu utama. Pada tahap pengadaan bahan, integritas serta kemampuan menilai kualitas dan mendokumentasikan dengan benar akan membedakan antara makanan bergizi dengan bahan yang kedaluwarsa atau terkontaminasi.

Di tahap produksi dan memasak, disiplin terhadap standar operasional prosedur suhu, higienitas, serta koordinasi tim akan menentukan apakah makanan aman dikonsumsi atau justru menimbulkan bakteri berbahaya.

Penempatan dalam wadah juga membutuhkan kedisiplinan, sebab kesalahan penyimpanan bisa menimbulkan kontaminasi. Dalam distribusi, ketepatan waktu dan pengendalian suhu menjadi sangat krusial, karena makanan yang terlalu lama berada di “zona bahaya” berpotensi membusuk.

Terakhir, dalam pengawasan dan pelaporan, transparansi dan komunikasi efektif menjadi benteng agar masalah segera terdeteksi dan korban bisa dihindari.

Kualitas SDM

Untuk menjawab tantangan tersebut, peningkatan kualitas SDM terkait MBG menjadi keniscayaan. Beberapa hal yang dapat dilakukan mencakup perbaikan dalam berbagai sisi.

Hal yang utama adalah pada aspek pelatihan dan sertifikasi. Kepemimpinan yang mampu menjalankan organisasi SPPG dengan baik, proses perekrutan yang transparan, kemampuan mengatasi masalah, komunikasi efektif, hingga evaluasi harus terus diasah.

SDM juga harus dibekali literasi keamanan pangan, kebersihan dapur, teknik penyimpanan dan pengolahan bahan, manajemen rantai dingin, serta keterampilan kerja sama tim. Sertifikasi berkala perlu dijalankan agar standar ini tetap terjaga, disertai pendidikan jangka panjang yang menanamkan kesadaran dan etos kerja.

Kemudian dari sisi komunikasi dan koordinasi. Kualitas SDM akan terlihat dari bagaimana mereka mampu membangun komunikasi internal SPPG maupun eksternal, mulai dari pemerintah pusat hingga sekolah penerima MBG.

Alur koordinasi dan birokrasi yang panjang harus disederhanakan agar lebih efektif. Jalur pelaporan cepat wajib disediakan, dan yang tak kalah penting, laporan yang masuk harus segera ditindaklanjuti dengan solusi nyata. Sosialisasi serta pelaporan berkala kepada publik juga harus dijalankan untuk menjaga transparansi.

Selanjutnya dari sisi sistem sanksi dan insentif. SDM yang melanggar prosedur standar harus mendapat sanksi tegas, termasuk kemungkinan pencabutan kontrak.

Sebaliknya, tim yang menunjukkan kepatuhan penuh dan mencatat nol insiden perlu diberi penghargaan. Pola sanksi dan insentif ini akan menjadi motivasi sekaligus kontrol sosial agar budaya disiplin benar-benar mengakar.

Berikutnya terkait penguatan budaya disiplin dan integritas. Perlu kampanye positif, misalnya slogan “Aman Gizi, Aman Proses”, yang menekankan pentingnya selektivitas dalam pengadaan bahan, kesiapan dapur, dan distribusi hingga ke sekolah.

Ketersediaan pasokan harus terjamin, jam kerja harus terukur, dan keterlambatan harus dihindari. Transparansi, integritas, dan akuntabilitas menjadi kunci agar tidak terjadi praktik pembelian bahan murah berkualitas rendah, penyalahgunaan anggaran, atau kesalahan dalam penyimpanan dan distribusi.

Di sini peran pemimpin yang memberi teladan sangat penting, baik dalam hal transparansi, koordinasi, manajerial, audit, maupun pelaporan publik.

Kemudian yang tidak kalah penting adalah pemanfaatan teknologi pendukung. Alat penyimpanan seperti lemari pendingin, alat pencatat suhu dan waktu, serta dokumentasi melalui CCTV dapat meningkatkan akuntabilitas.

Pemantauan dapat dilakukan dengan memanfaatkan QR code untuk memastikan kecepatan kerja, keamanan, dan transparansi. Teknologi bukan pengganti manusia, tetapi menjadi pendukung yang memperkuat integritas SDM dalam bekerja.

Dengan banyaknya kasus dalam program MBG, peningkatan kualitas SDM tidak bisa ditunda. Pemerintah perlu terus mendengar keluhan dan aspirasi masyarakat, menghindari pemaksaan jika sumber daya belum memadai, serta melakukan analisis dan evaluasi mendalam agar kejadian buruk dapat ditekan dan tidak terulang.

MBG adalah program besar yang jika dikelola dengan SDM berkualitas akan membawa dampak sangat luas, tidak hanya bagi gizi anak sekolah, tetapi juga bagi masa depan bangsa.

Jika kualitas SDM diperkuat, maka cita-cita menuju Indonesia Emas 2045 bukan sekadar slogan, melainkan sebuah kenyataan yang dapat diraih bersama.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SDM Indonesia dan Tantangan Sukses Program MBG"

Posting Komentar