Pasang Iklan Gratis

Saat Trump Menggunakan Tarif Laiknya Senjata

  Bahkan sebelum terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, Donald Trump telah menyatakan niatnya menjadikan kebijakan dagang luar negeri sebagai senjata penekan. Belum setahun pemerintahannya berjalan, ia kian sewenang-wenang menggunakan tarif untuk memaksakan agenda politik di dalam dan luar negeri. 

Pada November 2024, setelah memenangkan pemilihan presiden AS, Trump mengancam tarif 25 persen untuk semua produk dari Kanada dan Meksiko. Pengenaan tarif itu menurutnya akan “tetap berlaku hingga narkoba, khususnya fentanil, dan semua orang asing ilegal menghentikan invasi ke negara kita.”

Pada 1 Februari 2025, ancaman itu dilaksanakan. Donald Trump menandatangani perintah yang memberlakukan tarif yang hampir universal untuk barang-barang dari kedua negara tersebut yang masuk ke Amerika Serikat. Perintah tersebut menyerukan tarif 25 persen untuk semua impor dari Meksiko dan semua impor dari Kanada kecuali minyak dan energi, yang akan dikenakan pajak 10 persen.

Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau melawan dengan menyatakan akan membalas dengan tarif 25 persen pada barang-barang Amerika. Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum juga mengatakan bahwa Meksiko akan memberlakukan pembalasan tarif dan non-tarif terhadap Amerika Serikat. Trump akhirnya mundur dan pada 6 Maret menunda tarif untuk barang-barang yang sesuai dengan Perjanjian Amerika Serikat-Meksiko-Kanada (USMCA) - yang mencakup sekitar 50 persen impor dari Meksiko dan 38 persen impor dari Kanada. 

Hanya sepekan setelah dilantik sebagai presiden AS, Trump mengancam akan memberlakukan tarif dan sanksi sebesar 25 persen terhadap Kolombia setelah presidennya melarang dua pesawat militer AS yang membawa migran yang dideportasi untuk mendarat di negara tersebut.

Trump mengatakan bahwa tarif “untuk semua barang” yang masuk ke AS dari Kolombia akan diberlakukan “segera”, dan dalam satu minggu tarif 25 persen akan dinaikkan menjadi 50 persen.

Presiden Kolombia Gustavo Petro awalnya menanggapi dengan mengatakan bahwa ia akan memberlakukan tarif pembalasan sebesar 25 persen pada AS. Namun tak lama kemudian, Gedung Putih mengatakan bahwa Gustavo Petro menyerah dan menerima syarat-syarat untuk memulangkan para imigran dari Amerika Serikat.

Petro yang beraliran kiri kemudian hanya meminta agar para migran diperlakukan “secara bermartabat”. Pesawat-pesawat yang dikirim oleh Bogota untuk mengangkut para migran kembali beroperasi.

Dengan suksesnya tekanan terhadap Kolombia, Trump meluncurkan tarif universal “Hari Pembebasan”, yang mencakup tarif tambahan 34 persen untuk barang-barang Tiongkok di atas tarif 20 persen yang sudah ada, sehingga total tarif untuk barang-barang Tiongkok menjadi 54 persen. Ia juga menerapkan tarif beragam untuk berbagai negara termasuk Indonesia.

Kementerian Keuangan China membalas dengan tarif 34 persen untuk semua impor dari AS, mulai tanggal 10 April. Pada hari yang sama, Kementerian Perdagangan China mengumumkan bahwa mereka akan mewajibkan perusahaan-perusahaan untuk mengajukan permohonan lisensi sebelum mengekspor tujuh jenis tanah jarang: samarium, gadolinium, terbium, disprosium, lutetium, skandium, dan yttrium.

Ini kemudian memicu baku balas saling menaikkan tarif. Trump akhirnya menyerah dan kedua negara mencapai kesepakatan Akhir Juni lalu. Trump mengumumkan bahwa AS dan China telah menandatangani kesepakatan perdagangan, meskipun ia tidak menyebutkan secara spesifik. Salah satu kesepakatannya adalah China akan mengekspor mineral tanah jarang kepada AS yang akan dibalas keringanan tarif.

Pada 7 Juli, Trump menyatakan bahwa Amerika Serikat akan memberlakukan tarif tambahan sebesar 10 persen terhadap negara manapun yang menunjukkan dukungan terhadap "kebijakan anti-Amerika," merujuk kepada hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Brasil, sehari sebelumnya.

BRICS, yang mewadahi lebih dari separuh populasi dunia dan 40 persen output ekonomi global, ingin menampilkan diri sebagai poros baru kerja sama multilateral, di tengah konflik geopolitik dan perang dagang yang kian memanas. KTT yang berlangsung di Rio de Janeiro sebabnya disebut-sebut sebagai forum tandingan atas kebuntuan di G7 dan G20, serta pendekatan unilateral "America First” yang diusung Trump.

Presiden Indonesia Prabowo Subianto hadir di KTT BRICS tersebut. Ia dan Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva sempat mengeluarkan pernyataan bersama menegaskan pembelaan terhadap Palestina dan menuntut dihentikannya agresi Israel.

Pada hari yang sama, Presiden Trump, secara resmi mengirimkan surat kepada Prabowo Subianto. Dalam surat tersebut, Trump menyatakan AS akan memberlakukan tarif sebesar 32 persen terhadap seluruh produk impor asal Indonesia dimulai pada 1 Agustus nanti.

Tim negosiasi Indonesia kemudian bertolak ke Washington dan menekan tarif menjadi 19 persen. Namun, sebaliknya, barang AS yang Indonesia dikenai nol persen tarif. Indonesia juga wajib membeli pesawat Boeing dari AS, membuka eksplorasi tambang bagi AS, dan sejumlah keuntungan lainnya bagi AS.

Tak lama setelah KTT BRICS, Trump juga mengancam mengenakan tarif 50 persen untuk Brasil. Sebagian alasan Trump untuk memberlakukan tarif adalah untuk mengurangi defisit perdagangan dengan negara lain. Namun, AS memiliki surplus perdagangan sebesar 7,4 miliar dolar AS dengan Brasil tahun lalu, menurut kantor perwakilan perdagangan AS. Surplus tersebut berada di jalur yang tepat untuk terus tumbuh.

Tanpa alasan ekonomi untuk langkah seperti ini, Trump malah mengirim surat kepada Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva yang berfokus pada perlakuan Brasil terhadap mantan presidennya, Jair Bolsonaro, yang merupakan sekutu Trump. Bolsonaro didakwa melakukan percobaan kudeta setelah kalah dalam pemilihan presiden Brasil tahun 2022. Bolsonaro adalah juga seorang Kristen Evangelis Pro-Israel, golongan yang sekubu dengan Trump.

Sementara dalam sebuah pertemuan dengan Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte pada Senin (14/7/2025) di Gedung Putih, Trump mengancam akan memberlakukan tarif sekunder sebesar 100 persen kepada Rusia dan para negara mitra dagangnya. Ultimatum itu dimaksudkan agar Rusia mengakhiri serangan ke Ukraina

Trump itu juga mengungkapkan ancaman tarif “sangat berat” ke Moskow dan para mitra dagangnya akan berlaku jika perang di Ukraina tidak berakhir dalam 50 hari.

Trump kala itu akhirnya mengakui bahwa kebijakan tarifnya bukan hanya soal ekonomi. Ia menyebut bahwa dia memanfaatkan perdagangan untuk berbagai hal. “Itu juga berguna untuk menyelesaikan perang.” 

Saat membuka pertemuan menteri luar negeri ASEAN pekan lalu, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyampaikan memperingatkan bahwa kebijakan perdagangan global kini sedang “dipersenjatai”.  Anwar mengatakan bahwa dunia kini menyaksikan era di mana “kekuatan tidak lagi menjadi prinsip” dan “alat yang dulu digunakan untuk menghasilkan pertumbuhan kini digunakan untuk menekan, mengisolasi, dan mengekang.”

Tanpa menyebut nama AS, ia kembali mendesak ASEAN untuk bekerja sama dalam menanggapi ancaman perdagangan. “Kohesi kita tidak boleh berhenti pada deklarasi,” katanya, seraya menyerukan kepada para anggota untuk meningkatkan perdagangan intra-ASEAN, berinvestasi dalam integrasi regional, dan mengurangi ketergantungan strategis terhadap kekuatan-kekuatan eksternal. 

“Ini bukanlah badai yang akan berlalu begitu saja,” katanya. “Ini adalah cuaca baru di zaman kita.”

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Saat Trump Menggunakan Tarif Laiknya Senjata"

Posting Komentar